Sebagai guru pendidikan anak usia dini (PAUD), menangani anak yang menangis merupakan tantangan pekerjaan yang mungkin hampir setiap hari harus dihadapi. Apalagi di awal tahun ajaran baru ketika anak-anak murid baru masih beradaptasi dengan lingkungan sekolah, guru, teman-teman serta belum terbiasa berpisah dengan orang tuanya. Namun tidak jarang ada juga anak-anak yang sudah lebih dewasa dan sudah lama mengikuti kegiatan di PAUD pecah tangisnya.
Anak menangis adalah hal yang wajar mengingat di usianya itu, anak-anak belum mampu sepenuhnya memahami emosi yang sedang mereka rasakan. Selain itu, kemampuan anak-anak dalam mengomunikasikan keinginan atau kebutuhannya masih sangat terbatas. Menangis merupakan salah satu cara anak-anak mengekspresikan emosi, perasaan dan keinginannya.
Selama kita, sebagai guru, bisa betul-betul memahami ini kemudian menguasai teknik mengatasinya, maka menangani anak yang menangis akan menjadi tantangan yang mudah diatasi. Tantangan terbesar dari menangani anak yang menangis adalah kita kadang tidak tahu penyebab tangisnya, dan tangisan anak membuat kita semakin sulit berkomunikasi dengannya.
Hal pertama yang bisa dilakukan adalah berempati. Tunjukkan pada anak bahwa kita mengerti bahwa ia butuh menangis dan tidak apa-apa, jika ia menangis. Oleh karena itu, jangan memintanya berhenti menangis atau menyuruhnya diam, tetapi peluk dan belai kepala atau punggungnya untuk menenangkan dan meredakan tangisnya. Dengan tetap tenang saat menghadapinya, akan tumbuh rasa percaya dari diri anak bahwa ia tidak perlu merasa takut pada gurunya.
Begitu tangisnya reda, kita bisa berkomunikasi dengan si anak. Katakan padanya, “Bu guru bisa membantu, jika kamu mengatakan penyebab kamu menangis.” Lalu bantu anak mengkomunikasikan apa yang menyebabkan ia menangis. Jika kita tahu penyebabnya, maka tangis anak bisa dengan mudah kita atasi.
Kecenderungan kita saat menangani anak menangis adalah dengan menggunakan teknik pengalihan perhatian. Kadang dengan tiba-tiba dan suara keras, kita mencoba membuat anak memperhatikan hal lain dan kita berharap ia akan lupa dengan tangisnya. Misal mencoba membuat anak memerhatikan seekor cicak yang merayap di dinding kelas atau membuat anak memerhatikan temannya yang baru datang dengan tas baru. Ini cara yang tidak efektif. Memang anak berhenti menangis, tetapi hanya sesaat dan lebih karena kaget, bukan karena perhatiannya sudah tercurah pada hal lain yang kita tunjukkan.
Harus dipahami bahwa ketika anak menangis, seluruh pikirannya tercurah, terfokus hanya pada dirinya, pada perasaannya. Ketika menangis, sebetulnya anak sedang frustrasi. Dengan mencoba mengalihkan perhatiannya pada hal lain, sering kali hanya akan membuat anak tambah frustrasi. Kalau sudah begini, tangisnya biasanya malah akan makin kencang.
Cara lain mengatasi tangisan anak adalah dengan mengacuhkan atau mendiamkannya. Namun perlu diingat, cara ini hanya bisa diterapkan, jika guru benar-benar yakin dan sudah memeriksa bahwa si anak menangis bukan karena sakit atau kesakitan. Selain itu, cara ini ampuh diterapkan pada anak yang menangis hanya untuk mencari perhatian atau anak yang menggunakan tangisan sebagai senjata agar keinginannya terpenuhi. Dengan mendiamkannya, anak akan belajar menguasai perasaannya dan bertanggung jawab. Anak akan belajar bahwa menangis bukanlah solusi dari masalah yang mereka hadapi.
Dengan begitu, sebagai guru kita sudah membantu menumbuhkan sifat mandiri dan bertanggung-jawab pada anak yang terus tertanam menjadi perilaku hingga ia dewasa nanti. Namun jangan lupa beri pujian dan apresiasi pada anak ketika ia sudah berhenti atau berhasil meredakan sendiri tangisannya.
Sumber ; anggunpaud.kemdikbud.go.id